Kapan perlu REBRANDING?
Jangan rebranding hanya karena “ingin terlihat baru”—rebrandinglah kalau brand kamu memang sudah menjadi baru.
5/29/20252 min read


Rebranding: Kapan Perlu, Kapan Sebaiknya Ditahan?
Minggu ini, saya mendampingi tiga brand yang semuanya datang dengan niat rebranding. Sekilas tujuannya sama: ingin terlihat lebih relevan, lebih fresh, atau lebih diterima pasar. Tapi, ternyata alasan di balik rebranding bisa sangat berbeda — dan hasilnya pun tidak selalu sama.
1. Brand Sudah Upgrade DNA & Positioning
Case:
Brand pertama mengalami perkembangan signifikan — target market naik kelas, produk makin premium, narasi brand sudah jauh lebih matang.
Solusi:
Rebranding visual wajib dilakukan jika DNA brand memang sudah berubah. Visual, logo, warna, bahkan tone komunikasi harus selaras dengan positioning baru.
Data:
Menurut survei Lucidpress, konsistensi visual brand yang relevan bisa meningkatkan pendapatan hingga 33%.
Insight:
Rebranding di sini bukan hanya soal tampilan, tapi penyelarasan antara value, experience, dan ekspektasi market.
2. Rebranding Karena Tekanan atau Asumsi
Case:
Brand kedua merasa “harus” ganti nama dan logo karena ada beberapa feedback dari luar yang bilang “kurang keren” atau “nggak relate sama pasar anak muda.”
Solusi:
Hati-hati. Rebranding karena asumsi minor, bukan data atau strategi yang jelas, sangat riskan.
Data:
Menurut riset Harvard Business Review, 75% rebranding yang gagal terjadi karena keputusan diambil hanya berdasarkan opini, bukan insight atau riset pasar (HBR, 2020).
Insight:
Brand yang mudah terbawa arus opini akan kehilangan arah dan konsistensi. Selalu cek: “Benarkah masalahnya di nama/visual, atau sebenarnya pada value delivery dan engagement?”
3. Rebranding Karena Sentimen Negatif
Case:
Brand ketiga butuh rebranding setelah terkena isu atau sentimen negatif di media sosial.
Solusi:
Ini salah satu alasan rebranding yang valid, terutama jika reputasi sudah sangat terdampak dan sulit dipulihkan hanya dengan klarifikasi. Tapi ingat, perubahan harus menyeluruh — dari cara melayani, komunikasi, sampai narasi baru.
Data:
Studi dari Sprout Social menyebut, 57% konsumen akan memberi kesempatan kedua pada brand yang memperbaiki kesalahan lewat rebranding yang jujur dan transparan.
Insight:
Jangan sekadar ganti logo. Bawa perubahan nyata di balik visual baru itu.
Kesimpulan: Tanya Diri Sendiri, Perlu Rebranding atau Cukup Evaluasi?
Rebranding itu mahal—bukan cuma biaya, tapi juga energi, konsistensi, bahkan potensi kehilangan pelanggan lama.
Sebelum rebranding, tanyakan pada diri sendiri:
Apakah brand DNA dan value benar-benar sudah berubah?
Apakah masalah utama ada di visual/nama, atau pada strategi dan eksekusi?
Apakah sentimen negatif sudah tidak bisa diatasi kecuali lewat perubahan total?
Jangan rebranding hanya karena “ingin terlihat baru”—rebrandinglah kalau brand kamu memang sudah menjadi baru.
Masih ragu, apakah brand kamu perlu rebranding atau tidak?
Brand besar lahir dari proses refleksi yang jujur, bukan keputusan reaktif.
Referensi Data:
The Impact of Brand Consistency, Lucidpress
Social Media Reputation Management, Sprout Social
Subscribe UNTUK NOTIF BLOG TERUPDATE
KONTAK
+62 811 612 3126
Icansrg@gmail.com
© 2025. All rights reserved.