Ketika bencana datang, komunikasi pejabat publik kembali diuji

Analisis singkat tentang kenapa komunikasi pejabat publik sering gagal saat krisis, dan bagaimana kejelasan serta empati bisa mengembalikan kepercayaan masyarakat.

12/2/20252 min read

Mengapa Komunikasi Pejabat Publik Sering Gagal, dan Bagaimana Seharusnya di Tengah Bencana

Bencana di Sumatera beberapa waktu ini membuka satu hal penting: komunikasi pejabat publik masih jauh dari kebutuhan masyarakat.
Di saat masyarakat butuh kepastian, kecepatan, dan empati, yang muncul justru pesan yang berputar, terlalu formal, atau tidak menyentuh inti masalah.

Masalahnya bukan sekadar cara bicara.
Masalahnya ada pada mindset komunikasi yang belum berubah mengikuti zaman.

1. Bahasa birokratis membuat publik tidak memahami situasi dengan jelas

Sebagian besar pejabat masih menggunakan gaya komunikasi lama. Kalimat panjang, teknis, dan terlalu formal.
Padahal, laporan Edelman Trust Barometer 2024 menunjukkan bahwa kejelasan dan transparansi adalah dua faktor terbesar pembentuk kepercayaan publik.

Di tengah bencana, bahasa seperti ini tidak membantu.
Masyarakat butuh informasi yang singkat, jelas, dan langsung menjawab kekhawatiran mereka.

Solusi:
• Gunakan bahasa sederhana.
• Jelaskan langkah, bukan retorika.
• Beri update reguler dalam format yang mudah dicerna.

2. Takut salah bicara membuat komunikasi menjadi kaku

Banyak pejabat memilih bahasa aman karena takut disalahkan. Akhirnya pesan menjadi datar, hambar, dan tidak menyentuh kebutuhan masyarakat.

Di saat darurat seperti bencana Sumatera, ketakutan ini merugikan.
Publik butuh suara yang tegas, menenangkan, dan memberi arah.

Solusi:
• Gunakan komunikasi berbasis fakta dan rencana tindakan.
• Jangan menutupi kekurangan, sampaikan apa yang sedang diperbaiki.
• Prioritaskan empati daripada defensif.

3. Minimnya perspektif publik

Jejak digital Indonesia 2024 dari We Are Social menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen masyarakat mencari informasi krisis melalui kanal online.
Ini artinya, pejabat publik harus bisa berbicara dengan gaya digital.
Ringkas, responsif, dan sesuai ritme audiens.

Namun banyak dari mereka masih menyampaikan informasi dari sudut pandang institusi, bukan kebutuhan masyarakat.

Solusi:
• Komunikasikan apa yang paling dibutuhkan warga:
keselamatan, bantuan, dan langkah konkret.
• Gunakan format visual dan update cepat.
• Libatkan relawan digital untuk mempercepat distribusi informasi.

4. Empati masih rendah dalam penyampaian

Saat bencana terjadi, publik tidak hanya menunggu data.
Publik menunggu perasaan manusia.

Mengutip riset Harvard Kennedy School, komunikasi berbasis empati meningkatkan tingkat kepercayaan publik hingga 20 persen dalam situasi krisis.
Namun banyak pesan pejabat yang datar, formal, dan tidak menyentuh sisi emosional masyarakat.

Solusi:
• Mulai dengan kepedulian.
• Akui rasa takut dan kebutuhan warga.
• Beri ruang bagi suara korban dan relawan.

Empati tidak melemahkan otoritas.
Justru menguatkan legitimasi.

Arah Baru Komunikasi Pejabat Publik di Era Bencana

Bencana di Sumatera menjadi pengingat bahwa komunikasi adalah bagian dari penyelamatan, bukan sekadar formalitas.

Pejabat publik perlu mengadopsi tiga prinsip penting:

1. Kejelasan
Sampaikan informasi yang benar benar dibutuhkan.
Tanpa jargon. Tanpa kalimat berputar.

2. Kecepatan
Publik butuh update real-time.
Bukan menunggu konferensi pers berjam-jam.

3. Kemanusiaan
Tunjukkan empati.
Tunjukkan bahwa negara hadir bukan hanya dalam tindakan, tapi juga suara.

Penutup

Di era digital, masyarakat semakin cerdas membaca keaslian.
Ketika pejabat publik bicara dengan jujur, jelas, dan penuh empati, kepercayaan akan kembali tumbuh.

Dan di tengah bencana seperti yang terjadi di Sumatera, kepercayaan adalah hal yang sama pentingnya dengan bantuan fisik.
Karena suara yang jelas dan manusiawi bisa menggerakkan masyarakat untuk tetap tenang, tetap kuat, dan tetap saling jaga.